Prodi AP Umsida - Pengawasan partisipatif kini menjadi instrumen penting dalam memperkuat integritas pemilu di tengah maraknya praktik money politic atau politik uang. Politik uang telah lama menjadi ancaman laten yang mencederai asas pemilu yang jujur dan adil, serta menghambat lahirnya pemimpin yang kompeten dan berintegritas.
Di Kota Surabaya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah melibatkan berbagai elemen masyarakat—mulai dari warga, akademisi, hingga organisasi sipil—untuk membangun sistem pengawasan yang lebih terbuka dan kolaboratif.
“Partisipasi masyarakat dalam pengawasan adalah fondasi demokrasi yang sehat. Ini bukan sekadar pelengkap, melainkan keharusan,” kata salah satu komisioner Bawaslu Kota Surabaya.
Teknologi sebagai Enabler, Masyarakat sebagai Pengawas
Transformasi digital turut mendorong efektivitas pengawasan partisipatif. Bawaslu kini memanfaatkan platform daring dan aplikasi pelaporan cepat yang memungkinkan masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran, termasuk politik uang, secara real-time.
Selain itu, media sosial menjadi sarana strategis untuk edukasi politik dan penyebaran informasi tentang modus-modus politik uang yang kerap terjadi dalam tahapan kampanye maupun hari pemungutan suara.
Upaya ini didukung dengan pelatihan dan sosialisasi intensif kepada masyarakat, khususnya generasi muda, agar mereka memiliki pemahaman yang memadai tentang cara-cara melaporkan pelanggaran serta pentingnya menjaga kualitas demokrasi.
Kolaborasi Akademisi dan Masyarakat Sipil
Peran perguruan tinggi semakin terasa penting dalam penguatan pengawasan pemilu. Dengan kapasitas keilmuan dan jejaring intelektual, kampus dapat menjadi pusat riset sekaligus motor edukasi politik kepada masyarakat.
Di Surabaya, mahasiswa yang tergabung dalam komunitas pemantau pemilu aktif terlibat dalam sosialisasi anti-politik uang dan kampanye pemilu bersih. Di sisi lain, dosen dan peneliti turut menyumbangkan kajian kebijakan dan evaluasi efektivitas strategi pengawasan partisipatif.
Organisasi masyarakat sipil pun tak kalah penting. Dengan akar yang kuat di komunitas, mereka mampu menjangkau lapisan masyarakat yang belum tersentuh edukasi formal, serta menjadi penghubung antara warga dan lembaga pengawas.
“Masyarakat harus diposisikan bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai pelaku utama dalam menjaga kualitas pemilu,” ujar seorang aktivis pemilu dari LSM lokal.
Tantangan Struktural dan Budaya
Meski memiliki potensi besar, pengawasan partisipatif masih menghadapi berbagai kendala. Tantangan utama adalah rendahnya kesadaran sebagian masyarakat akan bahaya politik uang. Tidak sedikit warga yang menganggap pemberian uang sebagai hal lumrah dan bagian dari “tradisi politik” menjelang pemilu.
Tantangan lain adalah keterbatasan akses terhadap teknologi dan literasi digital, yang membuat sebagian kelompok masyarakat kesulitan dalam memanfaatkan platform pelaporan yang telah disediakan.
Rekomendasi untuk Penguatan Strategi
Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan partisipatif dalam jangka panjang, berikut beberapa rekomendasi strategis:
-
Penguatan Literasi Politik dan Digital: Pemerintah dan lembaga pendidikan harus memperluas kampanye edukasi politik berbasis literasi digital agar masyarakat lebih siap berpartisipasi dalam pengawasan.
-
Peningkatan Kolaborasi Bawaslu – Kampus – LSM: Kolaborasi ini dapat difokuskan pada riset kebijakan, pengembangan modul edukasi, dan program magang atau KKN tematik pemilu.
-
Regulasi dan Penegakan Hukum yang Tegas: Diperlukan aturan yang lebih ketat serta penerapan sanksi yang konsisten bagi pelaku politik uang, termasuk penerima.
-
Inovasi Teknologi Pengawasan: Pengembangan aplikasi yang lebih user-friendly, aksesibel, dan adaptif terhadap kebutuhan lokal dapat memperluas jangkauan pengawasan.
Menjaga Demokrasi dari Akar Rumput
Pada akhirnya, mencegah politik uang bukan hanya tugas Bawaslu atau lembaga pemilu semata. Ini adalah tanggung jawab kolektif yang menuntut keterlibatan semua elemen—masyarakat, akademisi, media, dan organisasi sipil—dalam satu gerakan bersama.
Dengan sinergi tersebut, pengawasan partisipatif dapat menjadi pilar utama dalam mewujudkan pemilu yang bersih, berintegritas, dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar dipilih berdasarkan kapasitas, bukan transaksionalitas.