Prodi AP Umsida - Literasi digital tak lagi sekadar urusan teknis. Ia kini menjadi kunci penting dalam memperjuangkan keadilan gender, khususnya di tengah maraknya kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan ketimpangan akses informasi digital yang masih terjadi di Indonesia.
Hal ini ditegaskan oleh Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Isna Fitria Agustina SSos MSi, dalam konferensi internasional Emerging New Media and Social Sciences di Bali, Selasa (23/04/2025).
Dalam paparannya, Isna menyatakan bahwa keadilan gender menuntut pendekatan yang adil dan sensitif terhadap kebutuhan tiap gender. “Keadilan gender adalah perlakuan yang adil terhadap semua gender, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan tantangan khusus masing-masing, sebagaimana dijelaskan oleh UN Women dan tertuang dalam UU No. 7 Tahun 1984,” ujarnya.
Ketimpangan Akses Digital dan Dampak KBGO
Isna menyoroti dua bentuk kesenjangan utama dalam ekosistem digital saat ini: ketimpangan akses perangkat dan minimnya informasi publik yang ramah gender.
Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan, 56% pengguna internet di Indonesia adalah laki-laki, sedangkan perempuan hanya mencapai 48%. Ketimpangan semakin mencolok di daerah pedesaan, di mana perempuan memiliki kemungkinan 1,6 kali lebih kecil untuk memiliki perangkat digital, menurut UNESCO.
Tak hanya soal perangkat, Isna juga menyoroti kurangnya konten digital yang memperhatikan perspektif gender. “Masih banyak layanan publik digital yang abai terhadap kebutuhan perempuan, misalnya dalam menyediakan informasi kesehatan reproduksi secara komprehensif dan inklusif,” tambahnya.
Ketimpangan ini berdampak langsung pada meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender online. Laporan SAFEnet mencatat lonjakan kasus KBGO dari 118 kasus pada Triwulan I 2023 menjadi 480 kasus di Triwulan I 2024. Korban, kata Isna, sering kali tidak tahu cara melapor, mengalami trauma berat, dan kehilangan akses terhadap ruang digital yang aman.
Perempuan Masih Dikecualikan dari Kebijakan Digital
Isna juga mengkritisi rendahnya keterlibatan perempuan dalam perumusan kebijakan digital, termasuk dalam pengembangan smart city maupun regulasi data digital. “Perempuan belum cukup dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menentukan arah teknologi publik, padahal merekalah yang paling terdampak,” tegasnya.
Solusi: Literasi Digital Inklusif dan Responsif Gender
Sebagai solusi, Isna mendorong penerapan tata kelola informasi yang inklusif dan berbasis data gender. Ia menyarankan agar pemerintah:
-
Menyediakan data terbuka yang dipisahkan berdasarkan gender untuk menyusun kebijakan yang lebih adil.
-
Mendesain layanan digital publik yang ramah gender, mudah diakses oleh penyandang disabilitas, dan multibahasa.
-
Menargetkan program literasi digital secara spesifik kepada kelompok perempuan rentan seperti ibu rumah tangga, pekerja informal, dan siswi sekolah.
Selain itu, ia mendorong penguatan implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk memberi perlindungan hukum nyata kepada korban KBGO. “Bukan hanya pelatihan, tetapi juga jaminan hukum dan ruang digital yang aman harus diprioritaskan,” ujarnya.
Isna juga menyarankan pemanfaatan teknologi seperti chatbot konsultasi hukum, serta aplikasi berbasis gender yang menyediakan informasi hak hukum, perlindungan sosial, dan kesehatan perempuan.
“Literasi digital yang adil dan masif dapat menjadi katalis keadilan gender, jika ditopang oleh kebijakan publik yang inklusif dan peka gender,” tandasnya.
Sinergi Multisektor untuk Masa Depan Digital yang Setara
Menutup paparannya, Isna menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk mengatasi kesenjangan digital yang berdampak pada perempuan.
“Digitalisasi seharusnya menjadi jembatan menuju keadilan sosial, bukan alat baru yang memperlebar ketimpangan lama,” pungkasnya.
Dengan dukungan kebijakan yang inklusif dan literasi digital yang menyasar kelompok rentan, perempuan Indonesia diharapkan bisa menjadi subjek aktif dalam era transformasi digital—bukan sekadar pengguna pasif atau korban sistem yang timpang.